Selasa, 09 Oktober 2012

SEJARAH PENGKODIFIKASIAN AL-QUR'AN


Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Allah swt. menjamin keotentikan Al-Qur’an sepanjang masa dari waktu penurunannya kepada Nabi Muhammad saw. sampai akhir zaman. Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya  Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (Al-Hijr [15]:9)
Ayat ini memberikan jaminan tentang kemurnian dan kesucian Al-Qur’an selama-lamanya. Tidak ada seorangpun yang mampu memalsukan dan menandingi Al-Qur’an, karena di samping para ulama yang menjaganya, Allah sendiri telah berjanji akan selalu menjaga dan memeliharanya.
Salah satu usaha umat Islam dalam menjaga kemurnian dan keotentikan Al-Quran adalah dengan cara mengkodifikasikan Al-Qur’an. Hal ini telah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah saw. setelah beliau wafat. Adapun usaha yang dilakukan oleh para ulama pada zaman sekarang untuk menjaga kemurnian Al-Quran adalah dengan melakukan pentashihan terhadap setiap Al-Qur’an yang akan beredar di kalangan masyarakat.
Berikut ini adalah sejarah pengkodifikasian Al-Qur’an dari masa Rasulullah sampai masa para sahabat.
1.    Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Rasulullah saw.
Pengkodifikasian Al-Qur’an memiliki dua arti, yaitu pengumpulan dalam arti menghafal dan pengumpulan dalam arti menulisya.
a.    Pengumpulan Al-Qur’an dalam arti menghafalnya
Rasulullah saw. sangat menyukai saat-saat wahyu turun, beliau senantiasa menghafalnya sesaat setelah wahyu tersebut turun. Rasulullah adalah penghafal Al-Qur’an pertama dan merupakan contoh terbaik bagi para sahabat dalam menghafal Al-Qur’an. Setiap kali ayat Al-Qur’an turun, para sahabat langsung menghafalnya dalam hati. Kaum arab tekenal dengan hafalannya yang kuat karena mereka pada umumnya buta huruf, sehingga cara penulisan mereka adalah dengan menghafalnya di dalam dada dan hati mereka. Tujuh sahabat yang terkenal sebagai penghafal Al-Qur’an pada masa Rasulullah saw. adalah:
1)     Abdulah bin Mas’ud
2)     Salim bin Ma’qal
3)     Muaz bin Jabal
4)     Ubay bin Ka'ab
5)     Zaid bin Tsabit
6)     Abu bakar bin Sakan
7)     Abu Darda
Inilah yang dimaksud dengan pengumpulan Al-Qur’an dengan arti menghafalnya. Al-Qur’an dikumpulkan dalam dada dan hati para sahabat, setiap saat mereka senantiasa menyetorkan hafalan mereka di hadapan Rasulullah saw. Hal inilah yang menjadikan hafalan mereka kuat dan terjamin kebenarannya.
b.    Pengumpulan Al-Qur’an dalam arti penulisannya
Selain menghafal Al-Qur’an dalam hati sebagai salah satu cara mengumpulkan Al-Qur’an, para sahabat juga menulis ayat-ayatnya sesaat setelah Malaikat Jibril menurunkannya kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw. telah mengangkat para sahabat sebagai penulis wahyu Al-Qur’an, mereka adalah:
1)      Ali bin Abu Thalib
2)      Mu’awiyah
3)      Ubay bin Ka’ab
4)      Zaid bin Tsabit
Ketika sebuah ayat turun, Rasulullah saw. memerintahkan kepada mereka untuk menulis ayat tersebut dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah. Di samping itu banyak sahabat lain yang ikut menuliskan ayat yang turun atas kemauan mereka sendiri. Mereka menulis ayat-ayat tersebut di berbagai tempat, ada yang menulisnya di pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana kuda, potongan tulang belulang bintang dan lain sebagainya. Jadi tulisan ayat-ayat Al-Qur’an pada masa Rasulullah saw. masih tercecer di berbagai tempat, tidak tersusun dalam satu mushaf. Tulisan ayat yang ada pada satu orang sahabat belum tentu ada pada sahabat yang lain.
Sebuah riwayat mengatakan bahwa Zaid bin Tsabit adalah sahabat yag terakhir membacakan Al-Qur’an di hadapan Rasulullah saw. sebelum beliau wafat. Ketika Rasulullah saw. wafat, Al-Qur’an telah dihafal dan ditulis seluruhnya dalam bentuk terpisah-pisah, ayat-ayat dan surah-surah dipisahkan, atau di tertibkan ayat-ayatnya saja. Setiap surah berada dalam satu lembaran secara terpisah dan dalam tujuh huruf, tetapi Al-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyeluruh (lengkap). Rasulullah tidak menyusun Al-Qur’an dalam satu mushaf agar Al-Qur’an tidak berubah pada setiap waktu, beliau juga senantiasa menunggu ayat yang menasikh terhadap sebagian hukum atau bacaanya. Disamping itu, pada saat itu belum ada tuntutan kondisi untuk membukukkannya dalam satu mushaf.
Az-Zarkasyi mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah Al-Qura selesai turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah saw.
Dengan demikian, pengumpulan Al-Qur’an pada masa Nabi ini dinamakan hifzan (hafalan) dan kitabatan (pembukuan) yang pertama.
2.    Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar
Meskipun Rasulullah dan para sahabat telah menuliskan semua ayat, namun tulisan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut belumlah dikompilasi menjadi satu buku yang utuh. Setelah Rasulullah saw. wafat, banyak umat islam yang murtad dari islam terutama di daereah Nejed dan Yaman. Keimanan mereka goyah atas wafatnya Rasulullah saw. karena mereka mengira bahwa Rasulullah saw. tidak akan meninggal dunia. Sehingga pada masa itu terjadi beberapa peperagan. Salah satu peperangan yang terkenal pada masa itu adalah Perang Yamamah, yaitu pada tahun dua belas hijriah. Perang ini melibatkan para penghafal Al-Qur’an dan mengakibatkan tujuh puluh sahabat penghafal Al-Qur’an gugur dalam medan perang.
Melihat kenyataan ini, Ummar bin Khaththab khawatir Al-Qur’an musnah seiring wafatnya para penghafal Al-Qur’an. Dia mengusulkan kepada Abu Bakar untuk menyusun Al-Qur’an dan mengumpulkannya menjadi satu mushaf. Pada mulanya Abu Bakar menolak usul Umar, karena Rasulullah saw. tidak melakukan hal tersebut, namun setelah melalui perdebatan yang panjang akhirnya Abu Bakar menerima usul untuk menyusun Al-Qur’an dalam satu mushaf. Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan menceritakan maksud serta usulan Umar. Awalnya Zaid menolak usulan itu seperti halnya dengan Abu Bakar, namun akhirnya Zaid mengerti dan menerima tugas yang sangat berat tersebut. Pemilihan Zaid sebagai penulis Al-Qur’an ini tidak sembarangan, pemilihan ini didasarkan kepada beberapa kualifikasi, diantaranya adalah sebagai berikut ini:
1)      Zaid adalah seorang yang sangat besar gairah keagamaannya. Memiliki akhlak terpuji, seprti yang secara khusus diapresiasi oleh Abu Bakar dengan menyatakan “Kami tidak pernah melihat hal yang buruk pada diri kamu”
2)      Zaid adalah seorang sahabat yang memiliki kecerdasan. Hal ini berarti menyangkut masalah kompetensi
3)      Zaid memiliki pengalaman di masa lampau tentang penulisan wahyu
4)      Azami mengatakan bahwa Zaid termasuk sahabat yang bernasab mujur karena sempat mendengar bacaan Al-Qur’an malikat Jibril bersama Nabi Muhammad di bulan Ramadhan
Zaid memulai tugasnya untuk menulis dan membukukan Al-Qur’an dengan bersandar pada hafalan yang ada di dalam hati para penghafal Al-Qur’an dan catatan potongan-potongan ayat yang ada pada penulis. Zaid bin Tsabit bertindak dengan sangat teliti dan hati-hati. Metode pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an yang digunakan Zaid dapat dipertanggung jawabkan.
Menurut Prof. Dr. MM. Al-A’zami metode yang digunakan lima belas abad lalu ini sama dengan metode yang digunakan para ahli saat ini. Pertama-tama Zaid membatasi pengumpulan dengan ayat-ayat yang disalin di bawah pengawasan Rasulullah saw. Dengan pembatasan ini, Zaid meyakinkan bahwa semua materi yang ia teliti memiliki tingkatan yang sama.
Di dorong oleh semangat yang meluap dari para pelaku pengumpul Al-Qur’an, proyek tersebut berkembang menjadi upaya masif yang mengikutsertakan partisipasi semua sahabat. Langkah-langkah partisapasi para sahabat digambarkan sebagai berikut.
1)      Khalifah Abu Bakar mengeluarkan undangan umum memberi peluang kepada setiap orang yang mampu untuk ikut berpartisipasi
2)      Proyek pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an tersebut dilakukan di dalam Masjid Nabawi sebagai pusat berkumpulnya kaum muslim
3)      Dalam memberi respon terhadap instruksi seorang khalifah, Umar berdiri di depan pintu gerbang masjid dan mengumumkan kepada setiap orang yang memiliki tulisan Al-Qur’an yang dibacakan oleh Rasulullah saw. agar membawanya ke masjid. Bilal juga mengumumkan hal yang sama ke seluruh sudut-sudut kota Madinah.
Upaya yang dilakukan Zaid sebagai ketua pengumpul Al-Qur’an adalah penyusunan semua surah dan ayat secara tepat. Sebagai seorang putra Madinah kemungkinan besar ia menggunakan script dan ejaan Madinah yang umum atau konvensional. Akan tetapi ukuran kepingan-kepingan kertas yang digunakan untuk menulis Al-Qur’an tidak sama sehingga menjadikan tumpukan kertas itu tidak tersusun rapi, karena itu dinamakan suhuf, tidak dinamakan mushaf sebagaimana yang kita kenal saat ini.
Para ulama berpendapat bahwa penamaan Al-Qur’an dengan mushaf baru muncul sejak saat itu, yaitu ketika Abu Bakar mengumpulkan Al-Quran. Ali bin Abu Thalib mengatakan bahwa orang yang paling besar pahalanya berkenaan dengan mushaf adalah Abu Bakar. Pengumpulan Al-Qur’an pada periode Abu Bakar ini dinamakan dengan jam’ul Qur’an as-sani (pengumpulan Al-Qur’an kedua).
Setelah semua terkumpul, kompilasi Al-Qur’an disimpan dalam arsip kenegaraan di bawah pengawasan ketat khalifah Abu Bakar. Ketika Abu Bakar wafat, tampuk kekhalifahan dipegang oleh Umar bin Khathab, himpunan Al-Qur’an pun beralih ke tangan Umar bin Khathab.
3.    Pemeliharaan Al-Qur’an pada Masa Umar bin Khathab
Pada masa khalifah Umar bin Khathab, terjadi penyebaran Al-Qur’an ke wilayah-wilayah yang sudah menerima Islam. Penyebaran ini bukan sekedar mengirimkan lembaran mushaf-mushaf, tetapi disertai pulan dengan pengajarannya. Khalifah Umar mengirimkan sekurangnya sepuluh sahabat ke Basrah untuk mengajarkan Al-Qur’an. Umar juga mengirim Mas’ud ke Kufah untuk mengajarkan Al-Qur’an. Umar sangat menekankan pentingnya mengajarkan Al-Qur'an dengan suhuf yang telah dibuat sebelumnya. Suatu ketika ada sahabat yang mengabarkan seseorang mendiktekan Al-Qur’an kepada masyarakat melalui hafalan di Kufah. Mendengar hal itu Umar marah besar. Namun setelah mengetahui bahwa orang yang mendiktekan Al-Qur’an adalah Ibnu Mas’ud, Umar menjadi tenang, karena ia teringat akan kemampuan dan kepandaian Ibnu Mas’ud.
Selain mengirim utusan kedua tempat teresbut, Umar juga mengirim tiga utusan ke Palestina, mereka adalah Muaz, Ubadah, dan Abu Darda’. Setelah berdakwah dan mengajarkan Al-Qur’an di Homs salah satu dari mereka diutus meneruskan perjalanan menuju ke Damaskus dan tempat lain di Palasetina. Umar juga mengirimkan beberapa utusan ke negara dan wilayah-wilayah lain untuk mengajarkan Al-Qur’an.
Ketika Umar menginggal dunia, kekhalifahan di pegang oleh Utsman bin Affan, dan untuk sementara waktu himpunan Al-Qur’an dirawat oleh Hafsah binti Umar. Hal ini dikarenakan dua alasan, pertama, Hafsah adalah seorang penghafal Al-Qur’an dan kedua, dia adalah salah satu istri Rasulullah saw. di samping juga sebagai anak Umar bin Khaththab.
4.    Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Utsman bin Affan
Setelah wilayah kekuasaan islam semakin luas dan para pengajar Al-Qur’an tersebar di pelbagai daerah, penduduk daerah tersebut biasanya mempelajari qiraah (bacaan) ayat dan pengajar yang dikirim ke mereka. Pembacaan Al-Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan huruf-huruf Al-Quran. Dan juga karena kabilah dan provinsi mereka beragam, sejak awal mereka memiliki dialek yang berlainan. Hal ini memaksa mereka membaca Al-Qur’an dengan dialeknya secara spontan. Adanya perbedaan dalam melafalkan Al-Qur’an mulai menampakkan keracuan dan perselisihan di kalangan masyarakat Islam. Terkadang sebagian mereka merasa puas karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya bersandar kepada Rasulullah saw., namun itu tidak mampu membendung keraguan dalam benak generasi muda yang tidak sempat berjumpa dengan Rasulullah saw. Sehingga terjadilah perselishan tentang bacaan mana yang lebih benar.
Ketika penyerbuan Armenia dan Azerbeijan dari penduduk Irak, Hudzaifah bin al-Yaman melihat banyak perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur’an, sebagian bacaan itu bercampur dengan ketidakfasihan. Masing-masing mereka mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya, dan pada puncaknya mereka saling mengafirkan satu sama lain. Melihat kenyataan itu Hudzaifah segera menghadap Utsman bin Affan dan menceritakan keadaan yang terjadi di tengah masyarakat muslim di berbagai daerah. Hudzaifah mengusulkan dan menyarankan agar Utsman segera mengambil tindakan untuk mencegah keadaan menjadi semakin kacau.
Menanggapi usulan tersebut, Utsman bin Affan segera mengeluarkan kebijakan untuk melakukan kodifikasi (pembukuan) Al-Qur’an lagi. Setidaknya ada dua teori mengenai metode kodifikasi yang dilakukan Utsman, yaitu sebagai berikut.
Pertama, Utsman bin Affan menyalin suhuf yang berada di tangan Hafshah. Pada saat itu ia memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Abdurrahman bin Harits, dan Said bin Ash untuk melakukan proses penyalinan catatan Al-Qur’an hasil pengumpulan tahap pertama, yang mushafnya disimpan oleh Hafshah. Kemudian salinan itu dikirim ke Kufah, Basrah, Damaskus, dan Madinah. Sedangkan naskah yang asli disimpan oleh Utsman bin Affan sendiri, yang kemudian dinamakan mushaful Imam, sedangkan catatan-catatan Al-Qur’an yang lain dimusnahkan.
Kedua, Utsman membuat mushaf tersendiri kemudian dibandingkan dengan suhuf yang ada di tangan Hafshah. Untuk mewujudakan hal itu, Utsman membentuk tim pengumpul naskah Al-Qur’an yang terdiri dari dua belas sahabat, yaitu Said bin al-Ash, Nafi’ bin Zubair bin Amr bin Naufal, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Zubair, Abdurrahman bin Hisyam, Kathir bin Aflah, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Malik bin Abu Amir, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Amru bin Ash. Metode penyusunan Al-Qur’an ini tidak ada yang berbeda dengan metode yang dilakukan pada masa Abu Bakar.
Setelah semua naskah terkumpul, suhuf-suhuf itu disusun menjadi sebuah mushaf (buku), kemudian naskah tersbut diverifikasi dan dibandingkan dengan suhuf yang ada di tangan Hafshah. Lalu semuanya dibacakan di hadapan Utsman dan para sahabat. Setelah tidak ada yang protes, Utsman mengirimkan duplikat naskah mushaf untuk disebarluaskan ke seluruh wilayah negara Islam. Menurut sebuah riwayat ada empat daerah yang dikirim salinan mushaf, yaitu Kuffah, Basrah, dan Damaskus. Sedangkan yang satu lagi disimpan di Madinah. Riwayat yang lain menambahkan di Mekkah, Yaman, dan Bahrain.
Setelah naskah disepakati dan dikirimkan ke barbagai belahan Arab, Utsman memerintahkan para sahabat untuk memusnahkan suhuf-suhuf yang ada ada di tangan masing-masing. Hal ini bertujuan untuk menjaga kesatuan dan keragaman dalam bacaan Al-Qur’an.
Arti penting kodifikasi Al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan adalah sebagai berikut:
a)      Menyatukan kaum muslim pada satu macam mushaf yang seragam ejaan dan tulisannya
b)      Menyatukan bacaan, meskipun pada kenyataannya masih ada perbedaan cara membaca, akan tetapi hal tersebut tidak berlawanan dengan ejaan mushaf Utsmani. Bacaan yang tidak sesuai dengan mushaf Utsmani tidak diperbolehkan lagi
c)      Menyatukan tata tertib susunan surah-surah, menurut tata tertib urut sebagaimana  yang kita lihat pada mushaf-mushaf sekarang ini.

Mushaf Utsmani Sepeninggal Utsman bin Affan
Dalam perjalanannya, naskah Al-Qur’an berpindah-pindah tangan di antara raja-raja Dinasti Umayyah. Ketika kerajaan mereka pindah ke Andalusia, naskah ini pun dibawa ke sana.
Ibnu Bathutah, pengembala asal Maghribi pada abad ke delapan mengatakan bahwa mushaful Imam itu berada di Bashrah. Seorang ulama mengatakan bahwa menurut Tarikh Al-Qur’an dari Abu Abdillah Zanjani, pada tahun 1904 orang-orang Islam dari Rusia mendirikan satu gedung kitab-kitab, dan setengah kitab yang berada di sana berasal dari Bukhara. Salah satu dari kitab itu konon adalah mushaful Imam.
Sampai sekarang setidaknya masih ada empat mushaf yang disinyalir adalah salinan mushaf hasil pengumpulan Al-Quran yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit pada masa Utsman bin Affan. Mushaf pertama ditemukan di kota Tasyqand (Tasken, Ibukota Usbekistan) yang tertulis dengan khat kufy. Mushaf kedua terdapat di museum Al-Husaini kairo Mesir. Sedangkan Mushaf ketiga dan keempat terdapat di Istanbul Turki. Sampai sekarang umat Islam tetap mempertahanka keberadaan mushaf yang asli apa adanya dan menjaganya sebagai peninggalan sejarah yang tak ternilai harganya.
(Sumber: Assalam. Al-Quran – Transliterasi dan Terjemah Tajwid Warna)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar