Selasa, 09 Oktober 2012

SEJARAH PENGKODIFIKASIAN AL-QUR'AN


Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Allah swt. menjamin keotentikan Al-Qur’an sepanjang masa dari waktu penurunannya kepada Nabi Muhammad saw. sampai akhir zaman. Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya  Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (Al-Hijr [15]:9)
Ayat ini memberikan jaminan tentang kemurnian dan kesucian Al-Qur’an selama-lamanya. Tidak ada seorangpun yang mampu memalsukan dan menandingi Al-Qur’an, karena di samping para ulama yang menjaganya, Allah sendiri telah berjanji akan selalu menjaga dan memeliharanya.
Salah satu usaha umat Islam dalam menjaga kemurnian dan keotentikan Al-Quran adalah dengan cara mengkodifikasikan Al-Qur’an. Hal ini telah dilakukan oleh para sahabat Rasulullah saw. setelah beliau wafat. Adapun usaha yang dilakukan oleh para ulama pada zaman sekarang untuk menjaga kemurnian Al-Quran adalah dengan melakukan pentashihan terhadap setiap Al-Qur’an yang akan beredar di kalangan masyarakat.
Berikut ini adalah sejarah pengkodifikasian Al-Qur’an dari masa Rasulullah sampai masa para sahabat.
1.    Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Rasulullah saw.
Pengkodifikasian Al-Qur’an memiliki dua arti, yaitu pengumpulan dalam arti menghafal dan pengumpulan dalam arti menulisya.
a.    Pengumpulan Al-Qur’an dalam arti menghafalnya
Rasulullah saw. sangat menyukai saat-saat wahyu turun, beliau senantiasa menghafalnya sesaat setelah wahyu tersebut turun. Rasulullah adalah penghafal Al-Qur’an pertama dan merupakan contoh terbaik bagi para sahabat dalam menghafal Al-Qur’an. Setiap kali ayat Al-Qur’an turun, para sahabat langsung menghafalnya dalam hati. Kaum arab tekenal dengan hafalannya yang kuat karena mereka pada umumnya buta huruf, sehingga cara penulisan mereka adalah dengan menghafalnya di dalam dada dan hati mereka. Tujuh sahabat yang terkenal sebagai penghafal Al-Qur’an pada masa Rasulullah saw. adalah:
1)     Abdulah bin Mas’ud
2)     Salim bin Ma’qal
3)     Muaz bin Jabal
4)     Ubay bin Ka'ab
5)     Zaid bin Tsabit
6)     Abu bakar bin Sakan
7)     Abu Darda
Inilah yang dimaksud dengan pengumpulan Al-Qur’an dengan arti menghafalnya. Al-Qur’an dikumpulkan dalam dada dan hati para sahabat, setiap saat mereka senantiasa menyetorkan hafalan mereka di hadapan Rasulullah saw. Hal inilah yang menjadikan hafalan mereka kuat dan terjamin kebenarannya.
b.    Pengumpulan Al-Qur’an dalam arti penulisannya
Selain menghafal Al-Qur’an dalam hati sebagai salah satu cara mengumpulkan Al-Qur’an, para sahabat juga menulis ayat-ayatnya sesaat setelah Malaikat Jibril menurunkannya kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw. telah mengangkat para sahabat sebagai penulis wahyu Al-Qur’an, mereka adalah:
1)      Ali bin Abu Thalib
2)      Mu’awiyah
3)      Ubay bin Ka’ab
4)      Zaid bin Tsabit
Ketika sebuah ayat turun, Rasulullah saw. memerintahkan kepada mereka untuk menulis ayat tersebut dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah. Di samping itu banyak sahabat lain yang ikut menuliskan ayat yang turun atas kemauan mereka sendiri. Mereka menulis ayat-ayat tersebut di berbagai tempat, ada yang menulisnya di pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana kuda, potongan tulang belulang bintang dan lain sebagainya. Jadi tulisan ayat-ayat Al-Qur’an pada masa Rasulullah saw. masih tercecer di berbagai tempat, tidak tersusun dalam satu mushaf. Tulisan ayat yang ada pada satu orang sahabat belum tentu ada pada sahabat yang lain.
Sebuah riwayat mengatakan bahwa Zaid bin Tsabit adalah sahabat yag terakhir membacakan Al-Qur’an di hadapan Rasulullah saw. sebelum beliau wafat. Ketika Rasulullah saw. wafat, Al-Qur’an telah dihafal dan ditulis seluruhnya dalam bentuk terpisah-pisah, ayat-ayat dan surah-surah dipisahkan, atau di tertibkan ayat-ayatnya saja. Setiap surah berada dalam satu lembaran secara terpisah dan dalam tujuh huruf, tetapi Al-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyeluruh (lengkap). Rasulullah tidak menyusun Al-Qur’an dalam satu mushaf agar Al-Qur’an tidak berubah pada setiap waktu, beliau juga senantiasa menunggu ayat yang menasikh terhadap sebagian hukum atau bacaanya. Disamping itu, pada saat itu belum ada tuntutan kondisi untuk membukukkannya dalam satu mushaf.
Az-Zarkasyi mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah Al-Qura selesai turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah saw.
Dengan demikian, pengumpulan Al-Qur’an pada masa Nabi ini dinamakan hifzan (hafalan) dan kitabatan (pembukuan) yang pertama.
2.    Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar
Meskipun Rasulullah dan para sahabat telah menuliskan semua ayat, namun tulisan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut belumlah dikompilasi menjadi satu buku yang utuh. Setelah Rasulullah saw. wafat, banyak umat islam yang murtad dari islam terutama di daereah Nejed dan Yaman. Keimanan mereka goyah atas wafatnya Rasulullah saw. karena mereka mengira bahwa Rasulullah saw. tidak akan meninggal dunia. Sehingga pada masa itu terjadi beberapa peperagan. Salah satu peperangan yang terkenal pada masa itu adalah Perang Yamamah, yaitu pada tahun dua belas hijriah. Perang ini melibatkan para penghafal Al-Qur’an dan mengakibatkan tujuh puluh sahabat penghafal Al-Qur’an gugur dalam medan perang.
Melihat kenyataan ini, Ummar bin Khaththab khawatir Al-Qur’an musnah seiring wafatnya para penghafal Al-Qur’an. Dia mengusulkan kepada Abu Bakar untuk menyusun Al-Qur’an dan mengumpulkannya menjadi satu mushaf. Pada mulanya Abu Bakar menolak usul Umar, karena Rasulullah saw. tidak melakukan hal tersebut, namun setelah melalui perdebatan yang panjang akhirnya Abu Bakar menerima usul untuk menyusun Al-Qur’an dalam satu mushaf. Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan menceritakan maksud serta usulan Umar. Awalnya Zaid menolak usulan itu seperti halnya dengan Abu Bakar, namun akhirnya Zaid mengerti dan menerima tugas yang sangat berat tersebut. Pemilihan Zaid sebagai penulis Al-Qur’an ini tidak sembarangan, pemilihan ini didasarkan kepada beberapa kualifikasi, diantaranya adalah sebagai berikut ini:
1)      Zaid adalah seorang yang sangat besar gairah keagamaannya. Memiliki akhlak terpuji, seprti yang secara khusus diapresiasi oleh Abu Bakar dengan menyatakan “Kami tidak pernah melihat hal yang buruk pada diri kamu”
2)      Zaid adalah seorang sahabat yang memiliki kecerdasan. Hal ini berarti menyangkut masalah kompetensi
3)      Zaid memiliki pengalaman di masa lampau tentang penulisan wahyu
4)      Azami mengatakan bahwa Zaid termasuk sahabat yang bernasab mujur karena sempat mendengar bacaan Al-Qur’an malikat Jibril bersama Nabi Muhammad di bulan Ramadhan
Zaid memulai tugasnya untuk menulis dan membukukan Al-Qur’an dengan bersandar pada hafalan yang ada di dalam hati para penghafal Al-Qur’an dan catatan potongan-potongan ayat yang ada pada penulis. Zaid bin Tsabit bertindak dengan sangat teliti dan hati-hati. Metode pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an yang digunakan Zaid dapat dipertanggung jawabkan.
Menurut Prof. Dr. MM. Al-A’zami metode yang digunakan lima belas abad lalu ini sama dengan metode yang digunakan para ahli saat ini. Pertama-tama Zaid membatasi pengumpulan dengan ayat-ayat yang disalin di bawah pengawasan Rasulullah saw. Dengan pembatasan ini, Zaid meyakinkan bahwa semua materi yang ia teliti memiliki tingkatan yang sama.
Di dorong oleh semangat yang meluap dari para pelaku pengumpul Al-Qur’an, proyek tersebut berkembang menjadi upaya masif yang mengikutsertakan partisipasi semua sahabat. Langkah-langkah partisapasi para sahabat digambarkan sebagai berikut.
1)      Khalifah Abu Bakar mengeluarkan undangan umum memberi peluang kepada setiap orang yang mampu untuk ikut berpartisipasi
2)      Proyek pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an tersebut dilakukan di dalam Masjid Nabawi sebagai pusat berkumpulnya kaum muslim
3)      Dalam memberi respon terhadap instruksi seorang khalifah, Umar berdiri di depan pintu gerbang masjid dan mengumumkan kepada setiap orang yang memiliki tulisan Al-Qur’an yang dibacakan oleh Rasulullah saw. agar membawanya ke masjid. Bilal juga mengumumkan hal yang sama ke seluruh sudut-sudut kota Madinah.
Upaya yang dilakukan Zaid sebagai ketua pengumpul Al-Qur’an adalah penyusunan semua surah dan ayat secara tepat. Sebagai seorang putra Madinah kemungkinan besar ia menggunakan script dan ejaan Madinah yang umum atau konvensional. Akan tetapi ukuran kepingan-kepingan kertas yang digunakan untuk menulis Al-Qur’an tidak sama sehingga menjadikan tumpukan kertas itu tidak tersusun rapi, karena itu dinamakan suhuf, tidak dinamakan mushaf sebagaimana yang kita kenal saat ini.
Para ulama berpendapat bahwa penamaan Al-Qur’an dengan mushaf baru muncul sejak saat itu, yaitu ketika Abu Bakar mengumpulkan Al-Quran. Ali bin Abu Thalib mengatakan bahwa orang yang paling besar pahalanya berkenaan dengan mushaf adalah Abu Bakar. Pengumpulan Al-Qur’an pada periode Abu Bakar ini dinamakan dengan jam’ul Qur’an as-sani (pengumpulan Al-Qur’an kedua).
Setelah semua terkumpul, kompilasi Al-Qur’an disimpan dalam arsip kenegaraan di bawah pengawasan ketat khalifah Abu Bakar. Ketika Abu Bakar wafat, tampuk kekhalifahan dipegang oleh Umar bin Khathab, himpunan Al-Qur’an pun beralih ke tangan Umar bin Khathab.
3.    Pemeliharaan Al-Qur’an pada Masa Umar bin Khathab
Pada masa khalifah Umar bin Khathab, terjadi penyebaran Al-Qur’an ke wilayah-wilayah yang sudah menerima Islam. Penyebaran ini bukan sekedar mengirimkan lembaran mushaf-mushaf, tetapi disertai pulan dengan pengajarannya. Khalifah Umar mengirimkan sekurangnya sepuluh sahabat ke Basrah untuk mengajarkan Al-Qur’an. Umar juga mengirim Mas’ud ke Kufah untuk mengajarkan Al-Qur’an. Umar sangat menekankan pentingnya mengajarkan Al-Qur'an dengan suhuf yang telah dibuat sebelumnya. Suatu ketika ada sahabat yang mengabarkan seseorang mendiktekan Al-Qur’an kepada masyarakat melalui hafalan di Kufah. Mendengar hal itu Umar marah besar. Namun setelah mengetahui bahwa orang yang mendiktekan Al-Qur’an adalah Ibnu Mas’ud, Umar menjadi tenang, karena ia teringat akan kemampuan dan kepandaian Ibnu Mas’ud.
Selain mengirim utusan kedua tempat teresbut, Umar juga mengirim tiga utusan ke Palestina, mereka adalah Muaz, Ubadah, dan Abu Darda’. Setelah berdakwah dan mengajarkan Al-Qur’an di Homs salah satu dari mereka diutus meneruskan perjalanan menuju ke Damaskus dan tempat lain di Palasetina. Umar juga mengirimkan beberapa utusan ke negara dan wilayah-wilayah lain untuk mengajarkan Al-Qur’an.
Ketika Umar menginggal dunia, kekhalifahan di pegang oleh Utsman bin Affan, dan untuk sementara waktu himpunan Al-Qur’an dirawat oleh Hafsah binti Umar. Hal ini dikarenakan dua alasan, pertama, Hafsah adalah seorang penghafal Al-Qur’an dan kedua, dia adalah salah satu istri Rasulullah saw. di samping juga sebagai anak Umar bin Khaththab.
4.    Pengumpulan Al-Qur’an pada Masa Utsman bin Affan
Setelah wilayah kekuasaan islam semakin luas dan para pengajar Al-Qur’an tersebar di pelbagai daerah, penduduk daerah tersebut biasanya mempelajari qiraah (bacaan) ayat dan pengajar yang dikirim ke mereka. Pembacaan Al-Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan huruf-huruf Al-Quran. Dan juga karena kabilah dan provinsi mereka beragam, sejak awal mereka memiliki dialek yang berlainan. Hal ini memaksa mereka membaca Al-Qur’an dengan dialeknya secara spontan. Adanya perbedaan dalam melafalkan Al-Qur’an mulai menampakkan keracuan dan perselisihan di kalangan masyarakat Islam. Terkadang sebagian mereka merasa puas karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya bersandar kepada Rasulullah saw., namun itu tidak mampu membendung keraguan dalam benak generasi muda yang tidak sempat berjumpa dengan Rasulullah saw. Sehingga terjadilah perselishan tentang bacaan mana yang lebih benar.
Ketika penyerbuan Armenia dan Azerbeijan dari penduduk Irak, Hudzaifah bin al-Yaman melihat banyak perbedaan dalam cara-cara membaca Al-Qur’an, sebagian bacaan itu bercampur dengan ketidakfasihan. Masing-masing mereka mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya, dan pada puncaknya mereka saling mengafirkan satu sama lain. Melihat kenyataan itu Hudzaifah segera menghadap Utsman bin Affan dan menceritakan keadaan yang terjadi di tengah masyarakat muslim di berbagai daerah. Hudzaifah mengusulkan dan menyarankan agar Utsman segera mengambil tindakan untuk mencegah keadaan menjadi semakin kacau.
Menanggapi usulan tersebut, Utsman bin Affan segera mengeluarkan kebijakan untuk melakukan kodifikasi (pembukuan) Al-Qur’an lagi. Setidaknya ada dua teori mengenai metode kodifikasi yang dilakukan Utsman, yaitu sebagai berikut.
Pertama, Utsman bin Affan menyalin suhuf yang berada di tangan Hafshah. Pada saat itu ia memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Abdurrahman bin Harits, dan Said bin Ash untuk melakukan proses penyalinan catatan Al-Qur’an hasil pengumpulan tahap pertama, yang mushafnya disimpan oleh Hafshah. Kemudian salinan itu dikirim ke Kufah, Basrah, Damaskus, dan Madinah. Sedangkan naskah yang asli disimpan oleh Utsman bin Affan sendiri, yang kemudian dinamakan mushaful Imam, sedangkan catatan-catatan Al-Qur’an yang lain dimusnahkan.
Kedua, Utsman membuat mushaf tersendiri kemudian dibandingkan dengan suhuf yang ada di tangan Hafshah. Untuk mewujudakan hal itu, Utsman membentuk tim pengumpul naskah Al-Qur’an yang terdiri dari dua belas sahabat, yaitu Said bin al-Ash, Nafi’ bin Zubair bin Amr bin Naufal, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Zubair, Abdurrahman bin Hisyam, Kathir bin Aflah, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Malik bin Abu Amir, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Amru bin Ash. Metode penyusunan Al-Qur’an ini tidak ada yang berbeda dengan metode yang dilakukan pada masa Abu Bakar.
Setelah semua naskah terkumpul, suhuf-suhuf itu disusun menjadi sebuah mushaf (buku), kemudian naskah tersbut diverifikasi dan dibandingkan dengan suhuf yang ada di tangan Hafshah. Lalu semuanya dibacakan di hadapan Utsman dan para sahabat. Setelah tidak ada yang protes, Utsman mengirimkan duplikat naskah mushaf untuk disebarluaskan ke seluruh wilayah negara Islam. Menurut sebuah riwayat ada empat daerah yang dikirim salinan mushaf, yaitu Kuffah, Basrah, dan Damaskus. Sedangkan yang satu lagi disimpan di Madinah. Riwayat yang lain menambahkan di Mekkah, Yaman, dan Bahrain.
Setelah naskah disepakati dan dikirimkan ke barbagai belahan Arab, Utsman memerintahkan para sahabat untuk memusnahkan suhuf-suhuf yang ada ada di tangan masing-masing. Hal ini bertujuan untuk menjaga kesatuan dan keragaman dalam bacaan Al-Qur’an.
Arti penting kodifikasi Al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan adalah sebagai berikut:
a)      Menyatukan kaum muslim pada satu macam mushaf yang seragam ejaan dan tulisannya
b)      Menyatukan bacaan, meskipun pada kenyataannya masih ada perbedaan cara membaca, akan tetapi hal tersebut tidak berlawanan dengan ejaan mushaf Utsmani. Bacaan yang tidak sesuai dengan mushaf Utsmani tidak diperbolehkan lagi
c)      Menyatukan tata tertib susunan surah-surah, menurut tata tertib urut sebagaimana  yang kita lihat pada mushaf-mushaf sekarang ini.

Mushaf Utsmani Sepeninggal Utsman bin Affan
Dalam perjalanannya, naskah Al-Qur’an berpindah-pindah tangan di antara raja-raja Dinasti Umayyah. Ketika kerajaan mereka pindah ke Andalusia, naskah ini pun dibawa ke sana.
Ibnu Bathutah, pengembala asal Maghribi pada abad ke delapan mengatakan bahwa mushaful Imam itu berada di Bashrah. Seorang ulama mengatakan bahwa menurut Tarikh Al-Qur’an dari Abu Abdillah Zanjani, pada tahun 1904 orang-orang Islam dari Rusia mendirikan satu gedung kitab-kitab, dan setengah kitab yang berada di sana berasal dari Bukhara. Salah satu dari kitab itu konon adalah mushaful Imam.
Sampai sekarang setidaknya masih ada empat mushaf yang disinyalir adalah salinan mushaf hasil pengumpulan Al-Quran yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit pada masa Utsman bin Affan. Mushaf pertama ditemukan di kota Tasyqand (Tasken, Ibukota Usbekistan) yang tertulis dengan khat kufy. Mushaf kedua terdapat di museum Al-Husaini kairo Mesir. Sedangkan Mushaf ketiga dan keempat terdapat di Istanbul Turki. Sampai sekarang umat Islam tetap mempertahanka keberadaan mushaf yang asli apa adanya dan menjaganya sebagai peninggalan sejarah yang tak ternilai harganya.
(Sumber: Assalam. Al-Quran – Transliterasi dan Terjemah Tajwid Warna)

SEJARAH PASUKAN GAJAH MENYERANG MAKKAH



Makkah, di penghujung  Februari 571 M. Hari ini tepat 50 hari sebelum nabi Muhammad saw lahir, ketika 6 ribu tentara berduyun-duyun mendatangi Makkah untuk menghancukan Ka’bah. Pasukan itu dipimpin Abrahah bin ash-Shabbah al-Hasbasyi, penguasa yang menjadi bawahan an-Najasyi di negri Yaman.
Abrahah sangat bernafsu meluluhlantakkan Ka’bah. Mengapa? Karena ia terganggu dengan kehadiran banyak orang ke Ka’bah. Seperti diketahui saat itu Abdul Muthalib menjadi pemimpin Makkah. Ia sangat mencintai Ka’bah seperti yang diperintahkan nenek moyangnya, nabi Ibrahim as. Ia berusaha sekuat tenaga untuk melindungi Ka’bah. Orang-orang pun berbondong-bondong mendatangi Ka’bah sebagai tempat ibadah meski tak sesuai lagi dengan ajaran nabi Ibrahim as. Karena mereka menyembah berhala di sekitar Ka’bah.
Ini tidak disukai Abrahah. Ia merasa jengkel. Abrahah berada dibarisan terdepan sebagai orang yang membenci Ka’bah. Sebagai pengalih perhatian orang-orang, ia membangun sebuah gereja berlapis emas, di kota Shan’a, untuk menandingi Ka’bah, tetapi hanya sedikit orang yang datang.
Abrahah marah, ia bertambah geram ketika mengetahui pada suatu malam, seseorang dari Bani Kinanah berhasil masuk ke gerejanya. Orang ini masuk ke gereja dengan cara mengendap-endap, lalu melumurkan kotoran ke pusat kiblat gereja tersebut. Amarah Abrahah tidak tertahakan lagi. Ia pun berniat menghancurkan Ka’bah dengan pasukan gajahnya.
Abrahah segera memerintahkan panglimanya untuk segerah menyiapkan 6.000 prajurit dan sembilan atau 13 ekor gajah untuk menyerang Ka’bah. Persiapan perangpun dilakukan. Semua perlengkapan perang dikeluarkan dan dibawa untuk menghancurkan Ka’bah. Setelah siap, pasukan Abrahah pun berangkat menuju Makkah.
Abrahah berada paling depan, memimpin pasukan dengan penuh kesombongan. Ia mengendarai gajah yang paling besar bernama Mahmud. Tubuh gajah yang besar membuat bumi seolah terguncang ketika kaki hewan-hewan tersebut serentak menjejak tanah.
Abrahah menghiasi pasukan gajahnya dengan kain-kainan. Ia sangat yakin dengan sekali gebrakan, Ka’bah akan hancur oleh pasukan gajah yang dimilikinya. Iring-iringan pasukan Ka’bah terus mendekati Makkah. Mereka yakin akan mampu meluluhlantakkah Ka’bah hingga berkeping-keping.
Kabar pasukan gajah didengar oleh penduduk Makkah. Suasana kota mencekam. Orang-orang Quraisy melarikan diri ke bukit dan gunung menghindari ancaman yang segera datang. Seketika itu juga suasana Makkah hening. Makkah seperti kota mati tiada berpenghuni.
Pasukan gajah kian mendekati Makkah.  Setibanya mereka di Wadi Muhasir, wilayah yang berada di antara Muzdalifah dan Mina, terjadi sebuah peristiwa aneh. Ketiga belas gajah itu tiba-tiba berhenti, tak mau berjalan lagi, mereka kemudian duduk di atas padang pasir yang tandus. Sesekali belalai mereka dikibas-kibaskan untuk mengusir debu yang diterbangkan angin.
Gajah-gajah itu pun tidak mau berjalan menuju Ka’bah. Setiap diperintahkan berjalan menuju ke arah selatan, utara, dan timur, gajah-gajah itu bangun dan berlari. Namun apabila diarahkan ke Ka’bah, gajah-gajah itu duduk dan tidak mau berjalan. Abrahah dan bala tentaranya heran. Mereka bingung, tak tahu apa yang terjadi dengan gajah-gajah itu.
Di tengah kegalauan mereka, tiba-tiba muncul burung-burung yang berterbangan di atas pasukan gajah. Jumlahnya cukup banyak. Abrahah dan bala tentaranya terkesima. Kepala mereka mendongak ke langit. Burung-burung itu berbentuk laksana besi berpengait (khathathif) dan lekukan tubuhnya seperti bentuk kacang adas (balsan).  Suara dengungan terdengar kencang, hingga membuat pasukan Abrahah menutup telinganya dengan tangan.
Saat pasukan abrahah masih terkesiap, tanpa diduga, burung-burung itu memuntahkan bebatuan yang terbakar. Abrahah dan pasukannya terkejut. Mereka kocar-kacir.  Berlarian lintang pukang tak tentu arah untuk menyelamatkan diri.
Setiap burung melemparkan tiga buah batu, satu di paruh dan dua di kakinya. Bila batu itu mengenai seseorang, tubuh orang itu akan berlubang seperti daun dimakan ulat. Tidak semua dari mereka terkena lemparan batu. Diantara pasukan Abrahah itu ada yang dapat melarikan diri, tetapi karena berdesakan, banyak dari mereka yang terjatuh dan terinjak oleh temannya sendiri yang juga berlari menyelamatkan diri.
Abrahah berhasil menyelamatkan diri. Namun, setibanya di shan’a, ia menderita peyakit aneh, peresendiannya lepas satu per satu. Abrahah seperti anak burung yang terbelah dadanya, hingga jantungnya menyembul keluar, lalu mati.
Peristiwa ini dengan cepat menyebar hingga terdengan di Romawi, Persia, dan Habasyah. Dunia pun gempar, hampir tidak mempercayai kejadian itu. Mereka heran dengan peristiwa yang menimpa Abrahah dan pasukannya. Apa yang sebenarnya terjadi? Mereka tak menduga jika Abrahah yang seorang Raja termahsyur dan mempunyai pasukan gajah bisa kalah dan gagal menghancurkan Ka’bah.
(Sumber: THE GREAT STORY OF MUHAMMAD SAW. REFERENSI LENGKAP HIDUP RASULULLAH SAW DARI SEBELUM KELAHIRAN HINGGA DETIK-DETIK TERAKHIR)

Kamis, 04 Oktober 2012

KAU ADALAH HAMBA TUHAN

Sebuah Puisi -->

Kenapa tidak kau langkahkan kakimu ke depan
Dengan penuh harapan bisa kau raih masa depan
Kau hanya berdiri di tempat sambil merenungi nasib dan keadaan
Apakah jiwa yang dianugerahkan Tuhan
Hanya kau gunakan untuk berdiam
Dan menoleh ke belakang

Tidak . . .
Jangan kau katakan bahwa kau tidak berdaya
Jangan kau salahkan Tuhan atas karuniaNya
Kita manusia memang makhluk ciptaanNya
Yang lemah dan kecil di hadapanNya
Tapi cobalah kau lihat senyum pengamen kecil
Di atas bus kota
Atau rasakanlah derita si pincang
Yang berjualan koran di jalan raya

Kau bukan bintang yang selalu bersinar
Dan kau juga bukan awan mendung yang selalu gelap
Tapi kau adalah manusia yang mempunyai kekuatan
Untuk menembus awan gelap agar bisa bersinar

Kau adalah hamba Tuhan
Dengan sejuta kemuliaan
Di saat bersinar dengan terang


MENJUAL SISIR KE PARA BIKSU DI WIHARA


Bisakah Menjual Sisir ke para Biksu di Wihara ?

Ada sebuah perusahaan "pembuat sisir" yang ingin mengembangkan bisnisnya, sehingga management ingin merekrut seorang sales manager yang baru. 

Perusahaan itu memasang iklan pada surat kabar. Tiap hari banyak orang yang datang mengikuti wawancara yang diadakan ... jika ditotal jumlahnya hampir seratus orang hanya dalam beberapa hari.

Kini, perusahaan itu menghadapi masalah untuk menemukan calon yang tepat di posisi tersebut.. Sehingga si pewawancara membuat sebuah tugas yang sangat sulit untuk setiap orang yang akan mengikuti wawancara terakhir.

Tugasnya adalah : Menjual sisir pada para biksu di wihara. (yang semua kepalanya gundul) -- Bisakah anda melakukannya? Apa jawaban anda ? 


a) Tidak mungkin, itu mustahil
b) Gile
c) Aku akan sekali mencoba untuk melaksanakan instruksi bos saya
d) Baiklah, saya akan coba
e) Ya, saya pikir bisa menjualnya (5 buah, 10 buah, 50 buah atau lebih, sebutkanlah jumlahnya) Kira2 apa mana jawaban yang sobat pilih?? 


Ok. Kita lanjut ke cerita sebenarnya…
Di akhir hanya ada 3 calon yang bertahan untuk mencoba tantangan di wawancara terakhir ini. (Mr. A, Mr. B, Mr. C).
 
Pimpinan pewawancara memberi tugas :
"Sekarang saya ingin anda bertiga menjual sisir dari kayu ini kepada para biksu di wihara. Anda semua hanya diberi waktu 10 hari dan harus kembali untuk memberikan laporan setelah itu."
Setelah 10 hari, mereka memberikan laporan. 

Pimpinan pewawancara bertanya pada Mr. A :
"Berapa banyak yang sudah anda jual?"
Mr. A menjawab: "Hanya SATU."
Si pewawancara bertanya lagi : "Bagaimana caranya anda menjual?"
Mr. A menjawab: 

" Para biksu di wihara itu marah-marah saat saya menunjukkan sisir pada mereka. Tapi saat saya berjalan menuruni bukit, saya berjumpa dengan seorang biksu muda - dan dia membeli sisir itu untuk menggaruk kepalanya yang ketombean." 

Pimpinan pewawancara bertanya pada Mr. B :
"Berapa banyak yang sudah anda jual?"
Mr. B menjawab : "SEPULUH buah." 

"Saya pergi ke sebuah wihara dan memperhatikan banyak peziarah yang rambutnya acak-acakan karena angin kencang yang bertiup di luar wihara. Biksu di dalam wihara itu mendengar saran saya dan membeli 10 sisir untuk para peziarah agar mereka menunjukkan rasa hormat pada patung sang Buddha." 

Kemudian, Pimpinan pewawancara bertanya pada Mr. C :
"Bagaimana dengan anda?"
Mr. C menjawab: "SERIBU buah!"
Si pewawancara dan dua orang pelamar yang lain terheran-heran.
Si pewawancara bertanya : "Bagaimana anda bisa melakukan hal itu?"
Mr. C menjawab: 

"Saya pergi ke sebuah wihara terkenal. Setelah melakukan pengamatan beberapa hari, saya menemukan bahwa banyak turis yang datang berkunjung ke sana . Kemudian saya berkata pada biksu pimpinan wihara, 'Sifu, saya melihat banyak peziarah yang datang ke sini. Jika sifu bisa memberi mereka sebuah cindera mata, maka itu akan lebih menggembirakan hati mereka.' Saya bilang padanya bahwa saya punya banyak sisir dan memintanya untuk membubuhkan tanda tangan pada setiap sisir sebagai sebuah hadiah bagi para peziarah di wihara itu. Biksu pimpinan wihara itu sangat senang dan langsung memesan 1,000 buah sisir!" 

-----------------------------------------------------------


Hikmah yang dapat diambil : 

Universitas Harvard telah melakukan riset, dengan hasil :
1) 85% kesuskesan itu adalah karena SIKAP dan 15% adalah karena kemampuan.
2) SIKAP itu lebih penting dari kepandaian, keahlian khusus dan keberuntungan.
Dengan kata lain, pengetahuan profesional hanya menyumbang 15% dari sebuah kesuksesan seseorang dan 85% adalah pemberdayaan diri, hubungan sosial dan adaptasi. Kesuksesan dan kegagalan bergantung pada bagaimana sikap kita menghadapi masalah. 


Dalai Lama biasa berkata : "Jika anda hanya punya sebuah pelayaran yang lancar dalam hidup, maka anda akan lemah. Lingkungan yang keras membantu untuk membentuk pribadi anda, sehingga anda memiliki nyali untuk menyelesaikan semua masalah."
"Anda mungkin bertanya mengapa kita selalu berpegah teguh pada harapan

Rabu, 03 Oktober 2012

HUBUNGAN IDUL FITRI DAN IDUL ADHA

-->
Umat Islam mengenal dua Hari Raya yang dirayakan setiap tahun, yaitu hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha. Ternyata dua hari raya yang berbeda ini mempunyai Relasi (Hubungan) yang sangat erat sekali. Dedi Suharto dalam bukunya yang berjudul Keluarga Qur’ani : Meneladani Ibrahim as., Membangun Keluarga Sukses Bahagia, Membagi hubungan dua hari raya ke dalam dua aspek tinjauan, yaitu:
1.      Relasi Dua Rukun Islam
Pertama, relasi dua hari raya merefleksikan relasi dua rukun Islam, yaitu rukun Islam tentang beribadah puasa dan rukun Islam tentang beribadah haji. Bila berkenaan dengan hari raya Idul Fitri, kita melaksanakan ibada puasa Ramadhan selama satu bulan penuh sebelumnya, sedangkan berkaitan dengan hari raya Idul Adha, sebagian masyarakat muslim, yang mampu dan berkesempatan, menunaikan ibadah haji di Mekkah.
Relasi dua rukun Iman ini menarik mengingat kedua ibadah utama ini memiliki karakteristik istimewa yang berbeda. Ibadah puasa terkenal dengan pengajaran pengendalian diri atau bersifat internal, sedangkan ibadah haji terkenal dengan pengajaran untuk berkumpul dengan komunitas muslim lainnya dan berinteraksi atau bersifat eksternal. Ibadah puasa merupakan sarana latihan sedangkan ibadah haji merupakan sarana pembuktian. Ibadah puasa merupakan ibadah yang pahalanya tidak secara pasti dapat ditentukan, mengingat Allah swt. sendiri yang akan langsung membalasnya, sedangkan ibadah haji merupakan ibadah yang jaminannya sudah pasti, yaitu surga.
Dengan demikian kita mendapatkan relasi antara ibadah puasa dan ibadah haji yang menarik, yaitu:
a)      Ibadah puasa dan ibadah haji merupakan dua ibadah yang berkaitan. Ibadah yang satu merupakan landasan bagi yang lainnya dan yang lainnya merupakan kelanjutan dari yang pertama
b)      Ibadah puasa merupakan fondasi bagi pelaksanaan ibadah haji dan ibadah haji merupakan kelanjutan dari ibadah puasa. Hal tersebut tidak menafikan bahwa masing-masing ibadah ini dapat dilakukan secara terus-menerus di luar relasi tersebut setelah relasi dan pola hubungan kedua ibadah tersebut telah terunaikan dengan baik
c)      Ibadah puasa memberikan landasan konsepsional sehingga lebih bersfat abstrak, sedangkan ibadah haji menggambarkan praktik dalam kehidupan nyata sehingga lebih bersifat konkret
d)     Ibadah puasa akan menghasilkan keikhlasan dan takwa (kesalehan pribadi) sedangkan ibadah haji akan menghaslkan al-birr atau kebajikan (kesalehan sosial)
e)      Ibadah puasa terfokus kepada pembentukan pribadi seorang muslim sehingga hasilnya diharapkan dapat menjadi bahan pembentukan masyaakat muslim, sedangkan ibadah haji terfokus kepada pembentukan masyarakat muslim tersebut.

2.      Relasi Takwa dan Al-birr (Kebajikan)
Kedua, relasi dua hari raya merefleksikan relasi dua konsep besar dalam Islam, yaitu konsep takwa dan konsep kebajikan (al-birr). Bila ibadah puasa Ramadhan selama satu bulan, yang karenanya kita merayakan Idul Fitri, bertujuan agar kita menjadi takwa, maka ibadah haji yang dengannya kita merayakan Idul Adha, bertujuan agar kita yang bekesempatan melaksanakan ibadah haji menjadi orang yang berbakti karena hajinya penuh dengan kebajikan.
Relasi kedua konsep besar ini menarik karena keduanya memiliki karakteristik yang berbeda. Konsep takwa lebih abstrak sedangkan konsep al-birr lebih konkret. Konsep takwa pada dasarnya konsep nilai, sedangkan konsep al-birr merupakan konsep praktik. Konsep takwa bernuansa keagamaan sedangkan konsep al-birr bernuansa kemanusiaan.
Dengan demikian kita mendapatkan relasi antara konsep takwa dan konsep al-birr yang menarik, yaitu:
a)      Konsep takwa dan konsep al-birr merupakan dua konsep yang berkaitan, yang satu merupakan landasan bagi yang lainnya dan yang lainnya merupakan kelanjutan dari yang pertama
b)      Takwa merupakan fondasi bagi al-birr dan al-birr merupakan kelanjutan dari takwa. Hal tersebut tidak menafikan bahwa masing-masing konsep ini dapat diterapkan secara terus menerus di luar relasi tersebut setelah relasi dan pola hubungan kedua konsep tersebut telah tertunaikan dengan baik.
c)      Takwa lebih bersifat umum dan abstrak, sedagkan al-birr lebih bersifat khusus dan konkret.
d)     Takwa lebih cenderung kepada kesalehan pribadi, sedangkan al-birr merupakan kesalehan sosial.
e)      Takwa lebih bersifat transendental, sedangkan al-birr lebih bersifat horizontal.