Al-Qur’an
adalah kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Allah swt. menjamin
keotentikan Al-Qur’an sepanjang masa dari waktu penurunannya kepada Nabi
Muhammad saw. sampai akhir zaman. Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti
Kami (pula) yang memeliharanya.” (Al-Hijr [15]:9)
Ayat
ini memberikan jaminan tentang kemurnian dan kesucian Al-Qur’an selama-lamanya.
Tidak ada seorangpun yang mampu memalsukan dan menandingi Al-Qur’an, karena di
samping para ulama yang menjaganya, Allah sendiri telah berjanji akan selalu
menjaga dan memeliharanya.
Salah
satu usaha umat Islam dalam menjaga kemurnian dan keotentikan Al-Quran adalah
dengan cara mengkodifikasikan Al-Qur’an. Hal ini telah dilakukan oleh para
sahabat Rasulullah saw. setelah beliau wafat. Adapun usaha yang dilakukan oleh
para ulama pada zaman sekarang untuk menjaga kemurnian Al-Quran adalah dengan
melakukan pentashihan terhadap setiap Al-Qur’an yang akan beredar di kalangan
masyarakat.
Berikut
ini adalah sejarah pengkodifikasian Al-Qur’an dari masa Rasulullah sampai masa
para sahabat.
1.
Pengumpulan
Al-Qur’an pada masa Rasulullah saw.
Pengkodifikasian Al-Qur’an memiliki dua
arti, yaitu pengumpulan dalam arti menghafal dan pengumpulan dalam arti
menulisya.
a. Pengumpulan
Al-Qur’an dalam arti menghafalnya
Rasulullah saw. sangat menyukai
saat-saat wahyu turun, beliau
senantiasa menghafalnya sesaat setelah wahyu tersebut turun. Rasulullah adalah penghafal Al-Qur’an pertama dan
merupakan contoh terbaik bagi para
sahabat dalam menghafal Al-Qur’an. Setiap kali ayat Al-Qur’an turun, para
sahabat langsung menghafalnya dalam hati. Kaum arab tekenal dengan hafalannya
yang kuat karena mereka pada umumnya buta huruf, sehingga cara penulisan mereka
adalah dengan menghafalnya di dalam dada dan hati mereka. Tujuh sahabat yang terkenal sebagai penghafal Al-Qur’an pada masa Rasulullah saw. adalah:
1) Abdulah bin Mas’ud
2) Salim bin Ma’qal
3) Muaz bin Jabal
4) Ubay bin Ka'ab
5) Zaid bin Tsabit
6) Abu bakar bin Sakan
7) Abu Darda
Inilah yang dimaksud dengan pengumpulan
Al-Qur’an dengan arti menghafalnya. Al-Qur’an dikumpulkan dalam dada dan hati
para sahabat, setiap saat mereka senantiasa menyetorkan hafalan mereka di
hadapan Rasulullah saw. Hal inilah yang menjadikan hafalan mereka kuat dan
terjamin kebenarannya.
b. Pengumpulan
Al-Qur’an dalam arti penulisannya
Selain menghafal Al-Qur’an dalam hati
sebagai salah satu cara mengumpulkan Al-Qur’an, para sahabat juga menulis
ayat-ayatnya sesaat setelah Malaikat Jibril menurunkannya kepada Rasulullah
saw. Rasulullah saw. telah mengangkat para
sahabat sebagai penulis wahyu
Al-Qur’an, mereka adalah:
1)
Ali
bin Abu Thalib
2)
Mu’awiyah
3)
Ubay
bin Ka’ab
4)
Zaid
bin Tsabit
Ketika sebuah ayat turun, Rasulullah
saw. memerintahkan kepada mereka untuk menulis ayat tersebut dan menunjukkan
tempat ayat tersebut dalam surah. Di samping itu banyak sahabat lain yang ikut
menuliskan ayat yang turun atas kemauan mereka sendiri. Mereka menulis
ayat-ayat tersebut di berbagai tempat, ada yang menulisnya di pelepah kurma,
lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana kuda, potongan tulang
belulang bintang dan lain sebagainya. Jadi tulisan ayat-ayat Al-Qur’an pada
masa Rasulullah saw. masih tercecer di berbagai tempat, tidak tersusun dalam
satu mushaf. Tulisan ayat yang ada pada satu orang sahabat belum tentu ada pada
sahabat yang lain.
Sebuah riwayat mengatakan bahwa Zaid bin Tsabit adalah sahabat yag terakhir membacakan Al-Qur’an
di hadapan Rasulullah saw. sebelum beliau wafat. Ketika Rasulullah saw.
wafat, Al-Qur’an telah dihafal dan ditulis seluruhnya dalam bentuk
terpisah-pisah, ayat-ayat dan surah-surah dipisahkan, atau di tertibkan
ayat-ayatnya saja. Setiap surah berada dalam satu lembaran secara terpisah dan
dalam tujuh huruf, tetapi Al-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang
menyeluruh (lengkap). Rasulullah tidak menyusun Al-Qur’an dalam satu mushaf
agar Al-Qur’an tidak berubah pada setiap waktu, beliau juga senantiasa menunggu
ayat yang menasikh terhadap sebagian hukum atau bacaanya. Disamping itu, pada
saat itu belum ada tuntutan kondisi untuk membukukkannya dalam satu mushaf.
Az-Zarkasyi mengatakan bahwa Al-Qur’an
tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada
setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah Al-Qura
selesai turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah saw.
Dengan demikian, pengumpulan Al-Qur’an
pada masa Nabi ini dinamakan hifzan
(hafalan) dan kitabatan (pembukuan)
yang pertama.
2. Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Abu
Bakar
Meskipun
Rasulullah dan para sahabat telah menuliskan semua ayat, namun tulisan
ayat-ayat Al-Qur’an tersebut belumlah dikompilasi menjadi satu buku yang utuh.
Setelah Rasulullah saw. wafat, banyak umat islam yang murtad dari islam
terutama di daereah Nejed dan Yaman. Keimanan mereka goyah atas wafatnya
Rasulullah saw. karena mereka mengira bahwa Rasulullah saw. tidak akan
meninggal dunia. Sehingga pada masa itu terjadi beberapa peperagan. Salah satu
peperangan yang terkenal pada masa itu adalah Perang Yamamah, yaitu pada tahun
dua belas hijriah. Perang ini melibatkan para penghafal Al-Qur’an dan
mengakibatkan tujuh puluh sahabat penghafal Al-Qur’an gugur dalam medan perang.
Melihat
kenyataan ini, Ummar bin Khaththab
khawatir Al-Qur’an musnah seiring
wafatnya para penghafal Al-Qur’an. Dia mengusulkan kepada Abu Bakar untuk menyusun Al-Qur’an dan mengumpulkannya menjadi satu
mushaf. Pada mulanya Abu Bakar menolak usul Umar, karena Rasulullah saw. tidak
melakukan hal tersebut, namun setelah melalui perdebatan yang panjang akhirnya
Abu Bakar menerima usul untuk menyusun Al-Qur’an dalam satu mushaf. Abu Bakar
memanggil Zaid bin Tsabit dan
menceritakan maksud serta usulan Umar. Awalnya Zaid menolak usulan itu seperti
halnya dengan Abu Bakar, namun akhirnya Zaid mengerti dan menerima tugas yang
sangat berat tersebut. Pemilihan Zaid sebagai penulis Al-Qur’an ini tidak
sembarangan, pemilihan ini didasarkan kepada beberapa kualifikasi, diantaranya
adalah sebagai berikut ini:
1) Zaid
adalah seorang yang sangat besar gairah keagamaannya. Memiliki akhlak terpuji,
seprti yang secara khusus diapresiasi oleh Abu Bakar dengan menyatakan “Kami
tidak pernah melihat hal yang buruk pada diri kamu”
2) Zaid
adalah seorang sahabat yang memiliki kecerdasan. Hal ini berarti menyangkut
masalah kompetensi
3) Zaid
memiliki pengalaman di masa lampau tentang penulisan wahyu
4) Azami
mengatakan bahwa Zaid termasuk
sahabat yang bernasab mujur karena sempat mendengar
bacaan Al-Qur’an malikat Jibril bersama Nabi Muhammad di bulan Ramadhan
Zaid
memulai tugasnya untuk menulis dan membukukan Al-Qur’an dengan bersandar pada
hafalan yang ada di dalam hati para penghafal Al-Qur’an dan catatan
potongan-potongan ayat yang ada pada penulis. Zaid bin Tsabit bertindak dengan
sangat teliti dan hati-hati. Metode pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an yang digunakan
Zaid dapat dipertanggung jawabkan.
Menurut
Prof. Dr. MM. Al-A’zami metode yang digunakan lima belas abad lalu ini sama
dengan metode yang digunakan para ahli saat ini. Pertama-tama Zaid membatasi
pengumpulan dengan ayat-ayat yang disalin di bawah pengawasan Rasulullah saw.
Dengan pembatasan ini, Zaid meyakinkan bahwa semua materi yang ia teliti
memiliki tingkatan yang sama.
Di
dorong oleh semangat yang meluap dari para pelaku pengumpul Al-Qur’an, proyek
tersebut berkembang menjadi upaya masif yang mengikutsertakan partisipasi semua
sahabat. Langkah-langkah partisapasi para sahabat digambarkan sebagai berikut.
1) Khalifah Abu Bakar
mengeluarkan undangan umum memberi peluang kepada setiap orang yang mampu untuk
ikut berpartisipasi
2) Proyek
pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an tersebut dilakukan di dalam Masjid Nabawi
sebagai pusat berkumpulnya kaum muslim
3) Dalam
memberi respon terhadap instruksi seorang khalifah, Umar berdiri di depan pintu
gerbang masjid dan mengumumkan kepada setiap orang yang memiliki tulisan
Al-Qur’an yang dibacakan oleh Rasulullah saw. agar membawanya ke masjid. Bilal
juga mengumumkan hal yang sama ke seluruh sudut-sudut kota Madinah.
Upaya
yang dilakukan Zaid sebagai ketua pengumpul Al-Qur’an adalah penyusunan semua
surah dan ayat secara tepat. Sebagai seorang putra Madinah kemungkinan besar ia
menggunakan script dan ejaan Madinah yang umum atau konvensional. Akan tetapi
ukuran kepingan-kepingan kertas yang digunakan untuk menulis Al-Qur’an tidak
sama sehingga menjadikan tumpukan kertas itu tidak tersusun rapi, karena itu
dinamakan suhuf, tidak dinamakan mushaf sebagaimana yang kita kenal saat ini.
Para
ulama berpendapat bahwa penamaan Al-Qur’an dengan mushaf baru muncul sejak saat
itu, yaitu ketika Abu Bakar mengumpulkan Al-Quran. Ali bin Abu Thalib mengatakan bahwa orang yang paling besar
pahalanya berkenaan dengan mushaf adalah Abu Bakar. Pengumpulan Al-Qur’an pada
periode Abu Bakar ini dinamakan dengan jam’ul
Qur’an as-sani (pengumpulan Al-Qur’an kedua).
Setelah
semua terkumpul, kompilasi Al-Qur’an disimpan dalam arsip kenegaraan di bawah
pengawasan ketat khalifah Abu Bakar. Ketika Abu Bakar wafat, tampuk
kekhalifahan dipegang oleh Umar bin Khathab, himpunan Al-Qur’an pun beralih ke
tangan Umar bin Khathab.
3.
Pemeliharaan
Al-Qur’an pada Masa Umar bin Khathab
Pada
masa khalifah Umar bin Khathab, terjadi penyebaran Al-Qur’an ke wilayah-wilayah
yang sudah menerima Islam. Penyebaran ini bukan sekedar mengirimkan lembaran
mushaf-mushaf, tetapi disertai pulan dengan pengajarannya. Khalifah Umar mengirimkan
sekurangnya sepuluh sahabat ke Basrah untuk mengajarkan Al-Qur’an. Umar juga
mengirim Mas’ud ke Kufah untuk mengajarkan Al-Qur’an. Umar
sangat menekankan pentingnya mengajarkan Al-Qur'an dengan suhuf yang telah
dibuat sebelumnya. Suatu ketika ada sahabat yang mengabarkan seseorang
mendiktekan Al-Qur’an kepada masyarakat melalui hafalan di Kufah. Mendengar hal
itu Umar marah besar. Namun setelah mengetahui bahwa orang yang mendiktekan
Al-Qur’an adalah Ibnu Mas’ud, Umar
menjadi tenang, karena ia teringat akan kemampuan dan kepandaian Ibnu Mas’ud.
Selain
mengirim utusan kedua tempat teresbut, Umar juga mengirim tiga utusan ke Palestina, mereka adalah Muaz, Ubadah, dan Abu Darda’.
Setelah berdakwah dan mengajarkan Al-Qur’an di Homs salah satu dari mereka diutus
meneruskan perjalanan menuju ke Damaskus dan tempat lain di Palasetina. Umar
juga mengirimkan beberapa utusan ke negara dan wilayah-wilayah lain untuk
mengajarkan Al-Qur’an.
Ketika
Umar menginggal dunia, kekhalifahan di pegang oleh Utsman bin Affan, dan untuk
sementara waktu himpunan Al-Qur’an dirawat oleh Hafsah binti Umar. Hal ini
dikarenakan dua alasan, pertama, Hafsah adalah seorang penghafal Al-Qur’an dan
kedua, dia adalah salah satu istri Rasulullah saw. di samping juga sebagai anak
Umar bin Khaththab.
4.
Pengumpulan
Al-Qur’an pada Masa Utsman bin Affan
Setelah
wilayah kekuasaan islam semakin luas dan para pengajar Al-Qur’an tersebar di
pelbagai daerah, penduduk daerah tersebut biasanya mempelajari qiraah (bacaan)
ayat dan pengajar yang dikirim ke mereka. Pembacaan Al-Qur’an yang mereka
bawakan berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan huruf-huruf Al-Quran. Dan juga
karena kabilah dan provinsi mereka beragam, sejak awal mereka memiliki dialek
yang berlainan. Hal ini memaksa mereka membaca Al-Qur’an dengan dialeknya
secara spontan. Adanya perbedaan dalam melafalkan Al-Qur’an mulai menampakkan
keracuan dan perselisihan di kalangan masyarakat Islam. Terkadang sebagian
mereka merasa puas karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya
bersandar kepada Rasulullah saw., namun itu tidak mampu membendung keraguan
dalam benak generasi muda yang tidak sempat berjumpa dengan Rasulullah saw.
Sehingga terjadilah perselishan tentang bacaan mana yang lebih benar.
Ketika
penyerbuan Armenia dan Azerbeijan dari penduduk Irak, Hudzaifah bin al-Yaman melihat banyak perbedaan dalam cara-cara
membaca Al-Qur’an, sebagian bacaan itu bercampur dengan ketidakfasihan.
Masing-masing mereka mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta
menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya, dan pada puncaknya mereka
saling mengafirkan satu sama lain. Melihat kenyataan itu Hudzaifah segera
menghadap Utsman bin Affan dan
menceritakan keadaan yang terjadi di tengah masyarakat muslim di berbagai
daerah. Hudzaifah mengusulkan dan menyarankan agar Utsman segera mengambil
tindakan untuk mencegah keadaan menjadi semakin kacau.
Menanggapi
usulan tersebut, Utsman bin Affan segera mengeluarkan kebijakan untuk melakukan
kodifikasi (pembukuan) Al-Qur’an lagi. Setidaknya ada dua teori mengenai metode
kodifikasi yang dilakukan Utsman, yaitu sebagai berikut.
Pertama,
Utsman bin Affan menyalin suhuf yang berada di tangan Hafshah. Pada saat itu ia memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah
bin Zubair, Abdurrahman bin Harits,
dan Said bin Ash untuk melakukan
proses penyalinan catatan Al-Qur’an hasil pengumpulan tahap pertama, yang
mushafnya disimpan oleh Hafshah. Kemudian salinan itu dikirim ke Kufah, Basrah, Damaskus, dan Madinah. Sedangkan naskah yang asli
disimpan oleh Utsman bin Affan sendiri, yang kemudian dinamakan mushaful Imam, sedangkan
catatan-catatan Al-Qur’an yang lain dimusnahkan.
Kedua,
Utsman membuat mushaf tersendiri kemudian dibandingkan dengan suhuf yang ada di
tangan Hafshah. Untuk mewujudakan hal itu, Utsman membentuk tim pengumpul naskah
Al-Qur’an yang terdiri dari dua belas sahabat, yaitu Said bin al-Ash, Nafi’ bin Zubair bin Amr bin Naufal, Zaid bin Tsabit,
Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Zubair, Abdurrahman bin Hisyam, Kathir bin Aflah,
Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Malik bin Abu Amir, Abdullah bin Umar, dan
Abdullah bin Amru bin Ash. Metode penyusunan Al-Qur’an ini tidak ada yang
berbeda dengan metode yang dilakukan pada masa Abu Bakar.
Setelah
semua naskah terkumpul, suhuf-suhuf itu disusun menjadi sebuah mushaf (buku),
kemudian naskah tersbut diverifikasi dan dibandingkan dengan suhuf yang ada di
tangan Hafshah. Lalu semuanya dibacakan di hadapan Utsman dan para sahabat.
Setelah tidak ada yang protes, Utsman mengirimkan duplikat naskah mushaf untuk
disebarluaskan ke seluruh wilayah negara Islam. Menurut sebuah riwayat ada
empat daerah yang dikirim salinan mushaf, yaitu Kuffah, Basrah, dan Damaskus. Sedangkan yang satu lagi
disimpan di Madinah. Riwayat yang lain menambahkan di Mekkah, Yaman, dan Bahrain.
Setelah
naskah disepakati dan dikirimkan ke barbagai belahan Arab, Utsman memerintahkan
para sahabat untuk memusnahkan suhuf-suhuf yang ada ada di tangan
masing-masing. Hal ini bertujuan untuk menjaga kesatuan dan keragaman dalam
bacaan Al-Qur’an.
Arti
penting kodifikasi Al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan adalah sebagai berikut:
a) Menyatukan
kaum muslim pada satu macam mushaf
yang seragam ejaan dan tulisannya
b) Menyatukan
bacaan, meskipun pada kenyataannya masih ada perbedaan cara membaca, akan
tetapi hal tersebut tidak berlawanan dengan ejaan mushaf Utsmani. Bacaan yang tidak sesuai dengan mushaf Utsmani tidak diperbolehkan lagi
c) Menyatukan
tata tertib susunan surah-surah, menurut tata tertib urut sebagaimana yang kita lihat pada mushaf-mushaf sekarang
ini.
Mushaf Utsmani Sepeninggal Utsman
bin Affan
Dalam
perjalanannya, naskah Al-Qur’an berpindah-pindah tangan di antara raja-raja
Dinasti Umayyah. Ketika kerajaan mereka pindah ke Andalusia, naskah ini pun dibawa ke sana.
Ibnu Bathutah,
pengembala asal Maghribi pada abad
ke delapan mengatakan bahwa mushaful Imam itu berada di Bashrah. Seorang ulama
mengatakan bahwa menurut Tarikh
Al-Qur’an dari Abu Abdillah Zanjani,
pada tahun 1904 orang-orang Islam dari Rusia mendirikan satu gedung kitab-kitab,
dan setengah kitab yang berada di sana berasal dari Bukhara. Salah satu dari
kitab itu konon adalah mushaful Imam.
Sampai
sekarang setidaknya masih ada empat mushaf yang disinyalir adalah salinan
mushaf hasil pengumpulan Al-Quran yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit pada masa
Utsman bin Affan. Mushaf pertama ditemukan di kota Tasyqand (Tasken, Ibukota Usbekistan) yang tertulis
dengan khat kufy. Mushaf kedua
terdapat di museum Al-Husaini kairo
Mesir. Sedangkan Mushaf ketiga dan keempat terdapat di Istanbul Turki. Sampai sekarang umat Islam tetap mempertahanka
keberadaan mushaf yang asli apa adanya dan menjaganya sebagai peninggalan
sejarah yang tak ternilai harganya.
(Sumber:
Assalam. Al-Quran – Transliterasi dan Terjemah Tajwid Warna)