Senin, 21 Januari 2013

GARUDA DI DADAKU, NASIONALISME MURNI HANYA SEBATAS PAGAR GELORA BUNG KARNO

GARUDA DI DADAKU, NASIONALISME MURNI HANYA SEBATAS PAGAR GELORA BUNG KARNO



Sorak sorai keceriaan dan keramaian hampir bisa di pastikan ada di stadion sepak bola Gelora Bung Karno atau yang biasa kita sebut dengan GBK di kala  Tim Nasional Sepak Bola Indonesia bertanding melawan Tim Nasional negara lain untuk membela merah putih. Ribuan bahkan jutaan orang Indonesia rela mengorbankan banyak hal untuk melihat pertadingan yang sangat menyita emosional semangat nasionalisme itu. Mulai dari uang untuk membeli segala atribut yang berkaitan dengan Timnas sampai waktu dan tenaga untuk datang bermacet-macetan menuju Stadion GBK. Bukan hanya itu penonton yang di rumah pun mungkin harus berebut remote TV dengan anggota keluarga yang lain untuk memilih channel yang menayangkan  siaran sepakbola itu. Begitu besar rasa cinta kita terhadap Negara Republik Indonesia yang kita cintai ini yang kita wujudkan melalui dukungan terhadap Tim Nasional sepakbola Indonesia.



Tapi pernahkah kita meluangkan waktu untuk merenung sejenak dan mengingat kembali pelajaran sewaktu kita duduk di bangku SD atau SMP untuk sekedar mereview kembali apa itu Garuda yang menjadi simbol negara kita.



Tentu kita semua akan selalu ingat bahwa di dalam dada Garuda tertanam Pancasila atau jika di artikan ke dalam bahasa Indonesia adalah Lima dasar. Poin penting atau garis besar dari lima dasar itu adalah KeTuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan sosial. Itu artinya jika kita menjunjung tinggi dan sangat membanggakan Garuda yang menjadi simbol negara kita atau yang sering kita teriakkan dengan sebutan “GARUDA DI DADAKU”  tentu selain menghafalkan kita juga harus memahami dan mengaplikasikan Lima dasar Pancasila tadi di dalam kehidupan bermasyarakat.


Banyak di antara kita yang sangat senang sekali menyanyikan lagu “Garuda Di Dadaku” tetapi jarang sekali yang mengaplikasikannya secara keseluruhan. Kalau kita melihat fenomena yang ada di tengah-tengah masyarakat kita yang sering terjadi kerusuhan antar kampung, antar desa, antar etnis, tawuran sekolah, korupsi, penipuan, kekerasan rumah tangga dan sekolah, dan bentuk aksi kriminal dan tindakan melanggar hukum yang lainnya, hal ini membuktikan bahwa Garuda hanyalah simbol yang terhafal tetapi bukan menjadi simbol yang terpatri di hati.



Betapa indahnya kehidupan bernegara di kawasan Gelora Bung Karno kala laga Timnas yang melakukan pertandingan baik di dalam maupun di luar stadion. Puluhan ribu orang saling sapa, saling rangkul, saling jabat tangan, tertawa bersama, sorak dan sorai satu suara walaupun banyak diantara mereka tidak saling kenal satu dengan yang lain. Tidak ada sekat yang menunjukkan bahwa sebenarnya diantara mereka terdapat banyak perbedaan yang cukup untuk menjadi alasan untuk mereka berpecah belah tetapi yang terjadi adalah sebaliknya, persatuan yang mereka junjung tinggi. Perbedaan yang hadir di tengah-tengah mereka adalah perbedaan agama, suku, ras, aliran kepercayaan, prinsip, dan perbedaan yang lainnya. Mereka secara sadar menutup celah itu dan membuka sekat-sekat di antara mereka sehingga hanya ada satu naungan di bawah sayap Garuda untuk mendukung TimNas. Nasionalisme kebangsaan yang mereka tunjukkan di dalam GBK pada saat itu bisa di katakan Nasionalisme murni yang sangat luar biasa.



Namun sangat di sayangkan jiwa Nasionalisme itu hanya bertahan di sepanjang lingkaran pagar GBK. Sekat perbedaan itu mereka pasang kembali ketika keluar dari lingkungan GBK. Tidak jarang kita melihat seusai mendukung Timnas banyak diantara mereka yang pulang dengan membawa kembali perbedaan masing-masing sehingga di tengah jalan terjadi gesekan antar kelompok yang menimbulkan kerusuhan sehingga merugikan masyarakat yang lain. Hal ini tentu  mencederai simbol Garuda yang telah mereka junjung tinggi selama berada di dalam GBK, apakah ini yang disebut nasionalisme angin-anginan? di dalam GBK Nasionalis, di luar GBK anarkis. Masih banggakah kita menyanyikan lagu Garuda Di Dadaku dalam kondisi seperti ini?



Setiap dari kita tentu harus mereview dan mengevaluasi diri kita sendiri untuk mengukur seberapa besar Jiwa Nasionalisme yang telah ada di dalam diri kita. Apakah Nasionalisme kita hanya sebatas di depan TV ketika siaran langsung pertandingan Timnas dan sebatas pagar Gelora Bung Karno atau Nasionalisme itu memang merupakan bagian dari diri kita yang sudah kita aplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari? Hanya kita sendiri yang tahu jawabannya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar